Friday, September 7, 2007

Untuk apakah kita hidup?

Untuk apakah kita hidup?

Tanyakanlah ini kepada Mak Paenah yang tiap hari
berjualan pecel di depan Gedung DPRD Sumatera Utara
(Sumut) di Medan. Dalam usianya yang--menurut
pengakuannya- -86 tahun, Mak Paenah masih setia
mendorong-dorong kereta pecelnya demi mengumpulkan
rupiah selembar demi selembar dari Rp 1.500 per pincuk
(piring dari daun pisang) pecel jualannya itu.

Gerobaknya cukup berat dengan dua roda becak yang
sering kempis anginnya. Sebuah topi bambu lebar
menemani tubuh ringkihnya menempuh jarak sekitar lima
kilometer dari rumah cucunya di kawasan Glugur ke
Gedung DPRD Sumut di Jalan Imam bonjol melewati
jalanan aspal yang terik dan ramai.

Pernah suatu hari Mak Paenah tidak kunjung muncul pada
jam makan siang, dan baru datang berjualan saat
matahari sudah sangat condong ke Barat.

"Aku diserempet mobil. Iki lho awakku babak bundas
(lihat tubuhku babak belur)," katanya dalam ujaran
yang selalu tercampur dengan bahasa Jawa kasar.

Setiap hari, biasanya sekitar pukul 11.00, ia sudah
tiba menggelar dagangannya. Dan, beberapa jam
kemuadian, ia pulang lagi dengan kereta dorongnya yang
sudah kosong dan segepok uang di dalam tas pinggang
yang terbuat dari kain batik lusuh.

Soal berapa banyak uang dalam tas pinggangnya itu, Mak
Paenah sering tidak tahu.Ia memang tidak peduli dapat
uang berapa hari itu. Bahkan, sering ada beberapa
lembar ribuan tercecer di bawah kakinya, yang selalu
diambilkan orang lain. Yang ia tahu pasti, ia tidaklah
pernah rugi.

"Bathi kuwi ora usah okeh-okeh, Serakah
jenenge...(kalau untung itu jangan besar-besar.
Serakah namanya..)," katanya pelan. Tidak serakah ini
pula yang membuat Mak Paenah cenderung royal dalam
memberi nasi pecel saat dagangannya hampir habis. Kata
orang, kalau beli di Mak Paenah, sebaiknya menjelang
ia mau pulang. Pasti dapat pecel lebih banyak.

Dengan keyakinan pasti tidak rugi itu pula, sering Mak
Paenah membelikan rokok untuk orang lain yang tampak
memerlukannya. Andi Lubis, fotografer harian Analisa,
Medan, yang perokok berat, beberapa kali diberi rokok
oleh Mak Paenah kalau tampak sedang bengong dan tidak
merokok.
"Nyoh rokok. Kowe lagi ra duwe duwit tho? (ini rokok
kamu sedang tidak punya uang kan?)" kata Mak Paenah
tanpa basa-basi.

Bagi Mak Paenah, apa salahnya menyisihkan uang untuk
menyenangkan orang lain. Tidak jarang ia berikan
pecelnya secara gratis kalau ada yang lapar, tapi tak
punya uang.

Jadi, untuk apa Mak Paenah berjualan dalam usianya
yang sudah sangat senja itu? Di kota-kota besar,
orang-orang yang jauh lebih muda darinya sudah
santai-santai di rumah menikmati uang pensiun bersama
cucu-cucu.

Aku bekerja karena memang manusia itu harus bekerja.
Aku sakit kalau nganggur. Menganggur adalah bersahabat
dengan setan. Kerja selalu ada kalau kita mau
mencarinya. Jangan mau menganggur, sampai kita mati,"
katanya seakan ahli filsafat.

Banyak yang meragukan apakah benar Mak Paenah benar
telah berusia 86 tahun. Tapi, mendengar beberapa
cerita yang sering diuangkapkannya sambil meracik
pecel, apalagi mengamati wajahnya yang selalu teduh
itu, kita yakin bahwa setidaknya ia sudah berusia di
atas 80 tahun. Ia pernah bercerita bagaimana suaminya
yang tentara terbunuh dalam perang kemerdekaan,
sementara saat itu anak sulungnya berusia kira-kira
belasan tahun.

Begitu suami meninggal, rasa tanggungjawab untuk
menghidupi ketiga anaknya memaksa Mak Paenah yang
lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur, ini berjualan
pecel. Baginya, tidak ada cerita untuk meminta belas
kasihan dari orang lain.

"aku hanya bisa bikin pecel. Jadi, aku mencari makan
dengan pecel ini.Sudah puluhan tahun tanganku bikin
sambel pecel. Sampai kapalan mengulek he..he..," kata
Mak Paenah sambil memamerkan mulutnya yang sudah
ompong.

Mengapa tidak menikah lagi setelah menjanda waktu itu?

"Sopo sing gelem karo rondo bakul
pecel...lethek. .he..he.. he(siapa yang mau dengan janda
penjual pecel yang lusuh dan bau)," katanya terkekeh.

Tapi, setelah anak-anaknya bisa mandiri, untuk apa
uangnya?

"Keuntungan penjualan, tiap hari saya simpan di bawah
bantal. Uang itu saya pakai untuk menolong orang kalau
ada yang membutuhkannya. Siapa tahun, kan?" katanya
dengan arif.

Mak Paenah menceritakan, ia pernah menolong
tetangganya yang mendadak membutuhkan uang.
Tetangganya itu tidak menyangka ketika tiba-tiba Mak
Paenah yang hanya berjualan pecel itu mampu
meminjaminya uang dalam jumlah cukup besar, tanpa
bunga pula.

Setiap pagi, Mak Paenah mengambl Rp 15.000 dari
simpanannya untuk berbelanja di Pasar Glugur. Pukul
04.00, ia sudah bangun dan pada pukul 06.00 ia sudah
mulai memasak bumbu-bumbu pecel dan juga sayurannya.

"Bangun pagi membuat saya sehat. Tiap hari berbelanja
dan menawar juga membuat saya tidak pikun," paparnya.
Dalam usianya itu, Mak Paenah sering membuat kagum
orang dengan kemampuannya mengitung dengan cepat.

"Meja ini habis sembilan pincuk. Jadi, tiga belas ribu
lima ratus,"katanya suatu kali saat menagih kepada
para wartawan yang makan.

Pada bulan Juni dan Juli 2002, para wartawan Medan
yang biasa mangkal di depan Gedung DPRD kehilangan Mak
Paenah. Dua bulan lebih waita tua itu menghilang.
Banyak yang kuatir kalau-kalau Mak Paenah sakit, atau
bahkan sudah meninggal dunia. Dan, Mak Paenah baru
muncul lagi pada akhir Juli.

Ternyata, Mak Paenah pulang ke Blitar menengok sanak
saudaranya. Menurut dia, semua yang dikenalinya sudah
meninggal.

"Uangku habis Rp 3,5 juta untuk beli oleh-oleh. Tapi,
aku senang bisa melihat Blitar lagi. Sudah sangat
berubah.Aku sama sekali sudah tidak bisa mengenali
tempat mana pun di sana," katanya dengan mata
berbinar-binar saat membicarakan kota yang
ditinggalkannya pada awal tahun 1940-an ini.

Ketika diingatkan bahwa para wartawan kuatir dengan
kepergiannya selama dua bulan itu, Mak Paenah justru
marah.

"Kamu yang muda-muda kok tidak punya perasaan. Kan,
semua tahu di mana rumahku. Kalau kuatir, ya mbok
menengok ke rumah. Coba, bagaimana kalau saya sakit
betulan? Ya, kan?" kata Mak Paenah.

Namun, sejak awal Agustus ini, Mak Paenah menghilang
kembali. Setelah ditengok ke rumahnya, ternyata ia
tidak kurang suatu apa.

"Aku pindah tempat jualan. Aku ngalah pada yang muda
yang lebih perlu uang," katanya yang kemudian
menimbulkan tanda tanya.

Ternyata, Mak Paenah kini memilih berjualan di
Lapangan Merdeka. Menurut dia, di depan Gedung DPRD
itu sudah muncul seorang saingan. Seorang penjual
pecel yang masih muda dilihatnya selalu berusaha
menyainginya dalam merebut hati pembeli.

"Aku tidak ingin bersaing. Rezeki sudah ada yang
mengatur. Biarlah aku yang sudah tua ini pindah,"
katanya tanpa emosi.

No comments: